S.H.E.R.K’s blog

September 29, 2008

Resensi Film

Filed under: Film Terbaru — Elbert Giovanni @ 4:20 am

Laskar Pelangi

LASKAR PELANGI adalah adaptasi dari novel fenomenal karya Andrea Hirarta dengan judul yang sama. Novel yang awalnya didedikasikan untuk sang ibunda guru tercinta, kemudian meledak menjadi bestseller, dan kini hadir di layar lebar. Dua sineas muda, Mira Lesmana dan Riri Riza adalah orang yang berhasil mewujudkannya. Naskah Laskap Pelangi ditulis oleh Salman Aristo, yang juga menulis skenario film laris AYAT-AYAT CINTA.

Film LASKAR PELANGI merupakan produksi ke-9 Miles Films dan Mizan Production. Seperti di novelnya, cerita LASKAR PELANGI berlatar belakang kehidupan di Pulau Belitong pada pertengahan tahun 1970-an.

Hari pertama tahun ajaran baru kali ini sangat menegangkan bagi dua orang guru SD Muhammadiyah, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid beserta orang tua mereka. Pasalnya, jika tidak mencapai 10 orang, maka sekolah akan ditutup. Adalah Harun, seorang murid istimewa yang menjadi murid ke-10, menyelamatkan mereka.

Bu Mus pun menjuluki kesepuluh anak dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing itu dengan nama Laskar Pelangi. Selama lima tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan kesepuluh murid, berjuang untuk terus bisa sekolah meski mereka harus menghadapi beragam tantangan serta tekanan untuk menyerah. Dengan bakat dan kecerdasannya, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) muncul sebagai pendorong semangat.

Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kehilangan sosok yang mereka cintai. Sanggupkah mereka bertahan menghadapi cobaan demi cobaan?

Film ini dipenuhi kisah tentang tantangan kalangan pinggiran, dan kisah penuh haru tentang perjuangan hidup menggapai mimpi, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia, dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia.

NIGHTS IN RODANTHE

Adrienne Willis (Diane Lane) memutuskan untuk mengasingkan diri di sebuah kota kecil bernama Rodanthe setelah merasa bahwa rumah tangganya gagal total. Ia kemudian menerima tawaran salah seorang temannya untuk merawat penginapan kecil miliknya di sana.

Adrienne berharap dapat menemukan ketenangan jiwa agar bisa memutuskan apa yang harus dilakukannya terhadap pernikahan yang telah ia jalani bertahun-tahun. Adrienne merasa tak mampu lagi menghadapi suami dan putrinya yang seolah-olah selalu berada di ‘sisi yang lain’.

Tak lama kemudian, seorang pria bernama Dr. Paul Flanner (Richard Gene) datang untuk bermalam di penginapan yang dijaga Adrienne. Dr. Paul Flanner datang ke Rodanthe untuk berbaikan degan putranya yang telah lama meninggalkannya.

Terjebak di tengah badai yang tiba-tiba datang, keduanya lantas menemukan apa yang selama ini mereka idamkan. Kehidupan asmara yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka.

AWAKE

lay Beresford (Hayden Christensen) yang menjadi direktur sebuah perusahaan besar jatuh cinta pada Sam (Jessica Alba). Namun Clay merasa enggan untuk menceritakan hubungannya dengan Sam pada ibunya, Lilith Beresford (Lena Olin) karena Sam bekerja sebagai asisten pribadi Lilith.

Saat rahasia ini terbongkar dan Lilith tidak menyetujui hubungan mereka berdua, Clay dan Sam memutuskan untuk pergi dan menikah secara diam-diam. Beberapa saat kemudian, Clay yang memiliki gangguan jantung mendapat telepon dari Dr. Jack Harper (Terrence Howard), temannya, bahwa sudah ada donor jantung dan Clay akan segera dioperasi.

Ternyata saat dioperasi, Clay mengalami anesthetic awareness. Obat bius yang disuntikkan ke tubuh Clay tidak cukup kuat untuk membuatnya tak sadar. Dalam keadaan tak berdaya namun tetap sadar, Clay harus melawan sakit luar biasa yang dirasakannya saat menjalani operasi.

Saat melawan rasa sakit inilah, roh Clay kemudian terlepas dari jasadnya dan mengalami banyak hal yang kemudian membuka matanya yang selama ini tertutup oleh rasa cintanya pada Sam. Bisakah Clay selamat dari operasi ini dan kembali ke dalam tubuhnya sendiri?

Film yang masuk ke dalam genre psychological thriller ini mencoba membahas satu tema yang agak unik meski belum bisa dibilang benar-benar original. Ada satu pesan moral yang tertangkap usai melihat film ini, jangan pernah menilai sesuatu dari apa yang tampak. Agak klise memang.

Untuk dibilang sebuah film yang menegangkan, sepertinya film ini tak memiliki unsur-unsur yang diperlukan untuk membuat penonton merasa tegang. Meski agak sedikit berbelok-belok, namun sebenarnya jalan cerita sudah dapat ditebak sebelum pertengahan film ini.

Malah banyak faktor yang sebenarnya malah mengurangi terbentuknya kesan menegangkan dari film ini. Misalnya saja akting para pemerannya yang kurang meyakinkan. Jessica Alba dan Hayden Christensen mungkin bukan orang-orang yang tepat untuk memerankan film ini.

Sepanjang film kita lebih banyak disuguhi scene-scene berlokasi di rumah sakit yang cenderung monoton meski ini bukan salah satu alasan kenapa film ini jadi agak membosankan. Bila Anda ingat film PHONE BOOTH yang dibintangi Colin Farrell dan Kiefer Sutherland, Anda pasti tahu bahwa film yang hanya mengambil lokasi shooting di sebuah boks telepon umum. Nyatanya film ini tak terasa membosankan.

Di tambah lagi dengan cerita saat roh Clay keluar dari badannya karena menahan sakit yang amat sangat dan kemudian bergentayangan di sekitar rumah sakit membuat film ini jadi semakin kehilangan ‘taring’ sebagai film thriller.

MAD MONEY

Bridget Cardigan (Diane Keaton) terpaksa harus bekerja menjadi tukang sapu di sebuah bank di Kansas City setelah suaminya diberhentikan kerja. Walaupun awalnya agak berat lantaran terbiasa hidup mewah, Bridget akhirnya menemukan dua sahabat. Mereka bertiga tak sadar bahwa hidup mereka akan segera berubah.

Bridget yang sebenarnya memiliki pendidikan tinggi berencana untuk menyelundupkan uang bank yang seharusnya dimusnahkan lantaran sudah melewati batas berlakunya. Ia berusaha meyakinkan dua sahabatnya Nina (Queen Latifah) dan Jackie (Katie Holmes) untuk ikut serta dalam rencana gila ini.

Setelah berhasil dalam ‘misi’ pertama mereka, keserakahan mulai menguasai ketiganya. Mereka berencana untuk melanjutkan perbuatan gila mereka ini. Sayangnya rencana mereka tak berjalan semulus yang mereka kira.

Film drama komedi arahan sutradara Callie Khouri ini memasang nama-nama besar seperti Diane Keaton, Queen Latifah, dan Katie Holmes dalam jajaran para pemainnya. Film yang menelan dana sekitar US$22 juta ini mulai dilepas ke pasaran pertengahan Januari lalu.

Film ini bicara tentang salah satu sifat dasar manusia, keserakahan. Namun masalah yang mendasar itu diungkapkan dengan cara ringan dan mudah dicerna dengan sentuhan kekonyolan di sana-sini. Meskipun mungkin tak akan membuat kita tertawa terbahak-bahak, namun setidaknya film komedi ini pasti bisa membuat kita tersenyum lantaran kita seperti diajak berkaca lewat ulah ketiga tokoh yang menjadi pusat film ini.

Film ini dibuat seolah memang ditujukan untuk konsumen para wanita. Bukan cuma karena ketiga pemerannya adalah wanita, namun karena film ini sarat dengan kesan feminist di mana wanita digambarkan juga bisa melakukan apa yang dilakukan pria. Namun jangan membandingkan film ini dengan CHARLIE’S ANGELS karena tak ada action atau bahaya yang benar-benar mengancam dalam film ini.

Meskipun berkisah tentang perampokan sebuah bank, namun tak ada rencana muluk-muluk atau aksi kekerasan dalam film ini. Mungkin sedikit tidak masuk akal bagaimana dengan mudah uang bisa dilarikan keluar dari sebuah bank yang memiliki keamanan ketat, namun ide film ini bukanlah seperti OCEAN’S THIRTEEN atau BANK JOB. Film ini hanya bicara tentang bagaimana uang bisa membutakan mata hati seseorang.

Jalan cerita film ini pun bisa dibilang datar. Tak ada unsur surprise atau ketegangan sama sekali. Kalau dilihat dari sisi komedi, tak banyak juga kelucuan yang ditampilkan film ini. Bisa jadi kelemahan itulah yang membuat sang sutradara memutuskan untuk membuat film ini meloncat-loncat dengan cara penyajian flashback. Dengan begitu diharapkan penonton tidak akan pergi di tengah-tengah film.

Untuk sebuah film yang membawa pesan positif tentang persamaan hak, film ini berisi kontradiksi karena pada saat yang sama juga seolah menggambarkan bahwa pencurian dalam kondisi tertentu (uang yang dicuri memang akan dimusnahkan) dapat diterima. Namun terlepas dari itu semua, film macam ini memang hanya untuk dikonsumsi sebagai hiburan atau pengisi waktu.

HELLBOY 2, GOLDEN ARMY

Pintu gerbang neraka telah dibuka dan makhluk-makhluk penghuninya yang lama tertidur pun siap keluar untuk menguasai bumi. Kehancuran tak lagi dapat dihindarkan.

Satu-satunya harapan bagi keselamatan bumi hanyalah Hellboy. Hellboy sebenarnya adalah penghuni ‘sisi lain’ yang terdampar di bumi dan akhirnya menjadi bagian dari BPRD (Bureau for Paranormal Research and Defense). Biro ini secara rahasia menjadi satu sektor pertahanan Amerika dari sisi paranormal. Namun dengan adanya serangan ini, FBI terpaksa harus mengakui keberadaan BPRD.

Film besutan sutradara Guillermo del Toro yang mengambil lokasi pengambilan gambar di berbagai tempat di Eropa ini dirilis Universal Pictures Juli kemarin.

Satu lagi film yang dibuat dengan harapan bisa mengekor sukses film pertamanya. Bila bagian pertama dibuat berdasarkan cerita komik asli dari HELLBOY, bagian kedua ini dibuat secara lepas, artinya tidak lagi berdasar pada sumber aslinya, komik.


Film ini menyajikan adegan pertarungan kolosal yang tak jauh beda dengan beberapa film laga keluaran terakhir seperti THE INCREDIBLE HULK atau HANCOCK. Jadi kalau kita mau bicara tentang adegan action mungkin tak ada yang baru dari film ini. Lalu apa yang membuatnya berbeda dari film-film fiksi ilmiah lain yang juga dibuat berdasarkan komik?

Jawabnya mungkin adalah adanya unsur metafisika dalam film ini. Alih-alih menggunakan jalan cerita yang berbau teknologi tinggi, film ini malah bicara tentang ‘alam lain’ yang notabene dianggap tak ada oleh sebagian masyarakat Barat.


Hal lain yang menarik dari film ini adalah imajinasi Guillermo del Toro yang liar seolah tanpa batas. Dan bagusnya lagi ia mampu menerjemahkan imajinasi liarnya ke dalam bentuk visual yang dapat dilihat orang lain. Menonton film ini kita seolah sedang mendengarkan dongeng yang sedang dibacakan oleh sang sutradara.

Dari jalan cerita, mungkin tak banyak yang bisa dikupas, film dari genre ini memang selalu mengusung jalan cerita yang mudah ditebak dan cenderung berjalan lurus. Mungkin karena film ini dibuat untuk dikonsumsi remaja hingga orang dewasa. Membuat jalan cerita yang berbelit-belit justru akan merusak ide dari cerita itu sendiri.


Namun meskipun mengusung jalan cerita yang cenderung polos, hitam dan putih, namun Guillermo del Toro masih menyisipkan satu konflik batin. Hellboy yang sebenarnya adalah makhluk dari ‘alam lain’ namun dibesarkan di antara manusia harus menghadapi perang batin antara membela makhluk-makhluk lain yang sejenis dengan dirinya atau membela manusia yang selama ini telah menjadi keluarganya. Konflik jadi makin parah saat ia mulai merasakan cinta pada salah seorang manusia.

Ron Perlman yang memerankan Hellboy sejak bagian pertama terasa memang pas untuk membawakan peran ini. Mulai dari nada bicara yang sinis hingga tingkah yang semaunya sendiri pada titik tertentu membuat penonton berpikir: sebenarnya dia ini manusia atau makhluk dari ‘alam lain’?

Meskipun termasuk genre film laga, namun film ini banyak memasukkan unsur-unsur humor yang terlihat wajar dan tak dibuat-buat, terutama masalah hubungan antara Hellboy dan Liz Sherman, wanita yang dicintainya. Kekonyolan yang terjadi justru membuat film ini terasa segar.

BANGKOK DANGEROUS

Menjadi pembunuh bayaran artinya kehilangan identitas. Seorang pembunuh bayaran harus menjalani hidup seorang diri karena identitasnya tak boleh diketahui orang. Namun kadang jalan hidup berkata lain.

Joe (Nicolas Cage) adalah seorang pembunuh bayaran yang sadis dan tak kenal ampun. Semua ‘order’ yang ia terima selalu terlaksana dan tak meninggalkan bekas apapun. Satu ‘tugas’ yang ia terima membawanya ke Thailand untuk menghabisi 4 orang musuh bos mafia yang bernama Surat.


Untuk mempermudah tugasnya, Joe lalu menyewa Kong (Shahkrit Yamnarm), seorang pencopet dan berandal jalanan. Joe berencana membunuh Kong saat tugasnya sudah selesai. Joe tak pernah meninggalkan saksi hidup-hidup.

Namun, menghabiskan waktu bersama Kong saat menyusun rencana pembunuhannya membuat Joe yang selama ini menyendiri jadi merasa nyaman. Ia pun lalu menjalin persahabatan dengan Kong. Bahkan Joe kemudian menjalin asmara dengan seorang penjaga toko di sana.

Film arahan sutradara kembar Pang Brothers yang sempat ngetop lewat film THE EYE banyak menyorot kehidupan malam Bangkok yang misterius. Film ini sebelumnya adalah film action Hongkong yang juga disutradarai Oxide Pang dan Danny Pang.


Kalau mau bicara soal orisinalitas, film ini mungkin tak menawarkan apa-apa. Tema seorang pembunuh bayaran yang mendapat ‘pencerahan’ dan mulai mempertanyakan benar tidaknya apa yang ia lakukan sudah sering dikupas dalam film-film sebelumnya. Tema film ini mungkin tak jauh beda dengan film ASSASSINATION TANGO, THE SPECIALIST, atau mungkin yang baru saja beredar HITMAN.

Soal East meet West pun sudah mulai jadi barang kadaluwarsa lantaran terlalu banyak diekspose sejak munculnya trilogi THE MATRIX. Intinya film ini tak bisa dibilang menawarkan sesuatu yang benar-benar baru dan fresh. Jadi yang bisa dijadikan tumpuan film ini tinggal kualitas penggarapan film dan akting para aktor dan aktris pendukungnya saja.


Bicara soal akting, Nicholas Cage mungkin tak perlu diragukan lagi. Sejak menonton permainan aktor ini di film VAMPIRE’S KISS, saya tak meragukan lagi kemampuan akting pria ini. Namun yang jadi masalah dalam film ini adalah para aktor dan aktris pendukung yang tak bisa mengimbangi kemampuan sang pemeran utama.

Masalah lain yang muncul adalah dialog yang terdengar klasik dan terasa sudah basi. Entah karena film bertema serupa sudah terlalu sering dibuat atau memang naskah film ini yang kurang digarap dengan baik. Yang jelas, dialog klise itu membuat film ini seolah tak natural lagi.


Tapi kalau dilihat dari sisi visual, film ini masih layak dijadikan hiburan yang ‘menghibur’ mata. Mungkin tidak aneh karena film ini adalah hasil garapan dua sutradara kembar Danny Pang dan Oxide Pang. Dua sutradara ini memang piawai kalau bicara masalah visual. Mulai dari sudut pengambilan gambar hingga visual efek yang digunakan seolah memang dibuat untuk memanjakan indera penglihatan ini.

Tapi setidaknya ada beberapa pesan yang disampaikan oleh film ini. Salah satunya adalah pesona Timur yang masih begitu menjadi obsesi bagi sebagian orang Barat entah itu dalam artian positif atau negatif. Sementara pesan utama yang sepertinya ingin disampaikan sang sutradara bahwa hidup menyendiri pasti ada batas akhirnya sepertinya lebih bisa mengena saat menonton film THE MATADOR.

MAMMA MIA!

<iframe src=’http://tv.kapanlagi.com/player/?id=0000005079&w=320&h=240&#8242; width=’320′ height=’240′ marginwidth=’0′ marginheight=’0′ frameborder=’0′ scrolling=’no’></iframe><br /><a href=’http://tv.kapanlagi.com//&#8217; style=’color:#ffcc00;’>Lihat Trailer Lainnya</a>

Sophie Sheridan (Amanda Seyfried) akan segera menikahi pria idamannya Sky (Dominic Cooper). Namun ia punya satu masalah. Ia tak pernah mengetahui siapa ayahnya sebenarnya. Donna (Meryl Streep), ibunya, tak pernah membuka rahasia ini selama bertahun-tahun. Bertekad ingin didampingi ayahnya saat pernikahan nanti, Sophie lalu membuka buku harian ibunya berharap bisa menemukan identitas ayahnya.

Dari buku harian itu, Sophie hanya berhasil menemukan tiga nama pria yang pernah singgah di hati ibunya, namun tak satu kata pun menyebutkan siapa ayah Sophie sebenarnya. Sophie punya satu kesempatan untuk mencari tahu jati diri ayahnya. Ia lalu mengundang Sam Carmichael (Pierce Brosnan), Harry Bright (Colin Firth), dan Bill Anderson (Stellan Skarsgård) untuk datang ke pesta pernikahannya dengan harapan bahwa salah satu dari ketiga pria ini adalah ayahnya.

Tak banyak produser atau sutradara yang berani membuat film musikal. Mungkin karena film dari genre ini tak terlalu banyak disukai publik film. Salah satunya adalah film MAMMA MIA! ini. Film drama yang diadaptasi dari drama musikal West End dengan judul yang sama ini diilhami lagu ABBA masih dengan judul yang sama juga. Mengambil lokasi shooting di berbagai tempat termasuk London, Venisia, Maroko, dan tentunya Yunani.

Film musikal dengan bumbu komedi mencoba mengulang kesuksesan versi teaternya yang konon telah ditonton lebih dari 30 juta orang di 170 kota di seluruh dunia. Melihat deretan nama beken yang dipasang sebagai pemeran film ini, nampaknya ada sedikit ketakutan bahwa film ini akan gagal menembus box office.

Dengan memasang nama-nama besar seperti Meryl Streep, Pierce Brosnan dan Colin Firth setidaknya film ini akan punya daya jual lebih tinggi. Dan sepertinya keputusan ini membuahkan hasil yang bagus. Sejak dilansir awal Juli lalu, film ini sudah menghasilkan US$418 juta lebih dari dana pembuatan yang cuma US$52 juta.

Dari sisi akting, ketiga nama besar tadi memang tak perlu diragukan lagi. Terutama Meryl Streep yang seolah menjadi pusat perhatian dalam film ini. Bila melihat ke belakang, reputasi aktris ini memang mengagumkan. Ia bisa memerankan hampir semua jenis karakter dengan penjiwaan yang baik.

Sementara di sisi cerita, ide dasar cerita ini bisa dibilang sangat story book. Artinya jalan cerita seperti ini hanya mungkin terjadi dalam dongeng-dongeng yang selalu berakhir bahagia. Meskipun dalam film ini kita disuguhi scene-scene yang penuh dengan warna, namun sebenarnya jalan cerita dari film ini bisa dibilang hanya hitam dan putih. Semua seolah bisa diselesaikan dengan mudah.

Bagi yang tak terlalu menyukai film bertema musikal mungkin film ini agak sulit ‘dimengerti’. Namun bisa jadi film ini memang ditujukan untuk para penggemar film-film dari genre ini atau setidaknya yang ingin bernostalgia dengan hits-hits ABBA yang memang memenuhi sepanjang film ini.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.